Gaharu Secara umum
Gaharu sebenarnya bukan nama
tumbuhan, tetapi gaharu ialah bagian hasil dari jenis tanaman pohon berkayu di
hutan. Kata gaharu sendiri berasal dari beberapa istilah bahasa yaitu harum dari
melayu, aguru dari bahasa sanskerta yang artinya kayu berat (tenggelam dalam
air). Gaharu ialah salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang umumnya
dihasilkan oleh jenis pohon dari suku Thymelaceae.
Gaharu memiliki mutu yang sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena
mengandung resin yang harum baunya. Pada umumnya masyarakat telah menyebut
tanaman penghasil gaharu sebagai pohon gaharu dan itu sudah diterima secara
umum oleh semua pelaku bisnis gaharu (Kelin Tarigan, 2004)
Umumnya gaharu digunakan untuk
bahan baku industri parfum, wangian dan
kosmetika, bahan keperluan ritual / peribadatan salah satu agama dan bahan baku obat-obatan yaitu
sebagai anti asmatik, anti mikroba, stimulan kerja syaraf, obat sakit perut,
penghilang rasa sakit, obat kanker, obat ginjal, obat lever dan obat malaria
(Parman, 2002).
Dengan nilai komersial yang
demikian tinggi, volume perdagangan gaharu semakin meningkat. Permintaan pasar
internasional terhadap gaharu dari tahun ke tahun terus bertambah. Menurut
Sumarna, 2002 dan Susilo, 2003, volume ekspor gaharu Indonesia
pada periode 1990-1998 sebanyak 165 ton dengan nilai US$
2.000.000 dan meningkat sebanyak 456 ton dengan nilai US$ 2.200.000
pada periode 1999-2000. Namun pada periode 2000-2002 volume ekspor menurun 30
ton dengan nilai US$ 600.000 karena gaharu sulit didapat.
Menurut data Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Departemen Kehutanan RI, realisasi
ekspor gaharu dari Indonesia
sejak tahun 1997-September 2001 cenderung lebih menurun. Data menurunnya realisasi ekspor gaharu tersaji
pada tabel 1.
Tabel 1.
Realisasi Ekspor Gaharu Tahun 1997-2001
Tahun
|
Aquilaria malacensis
(Ton)
|
Aquilaria filaria
(Ton)
|
Jumlah
(Ton)
|
1997
|
284.986
|
43.510
|
328.496
|
1998
|
148.236
|
165.072
|
313.308
|
1999
|
74.616
|
233.570
|
308.186
|
2000
|
81.079
|
163.773
|
144.852
|
2001
|
59.069
|
125.000
|
184.069
|
Sejak tahun 1994 CITES menetapkan
tanaman penghasil gaharu jenis Aquilaria malaccacensis termasuk
APENDIX II, yaitu jenis tanaman yang terancam punah. Kekhawatiran akan
terjadinya kepunahan terhadap jenis tanaman penghasil gaharu ini merupakan satu
masalah karena selain disebabkan oleh eksploitasi yang terus menerus juga belum
tersedianya teknologi budidaya yang efisien sehingga terjadi ketidakseimbangan
antara laju eksploitasi dan ketersediaan bibit untuk penanaman kembali. Selama
ini pemanfaatan gaharu masih diambil langsung dari alam yang diambil secara
illegal oleh pemburu gaharu dan intensitas pemungutan yang relatif tinggi
khususnya terhadap gaharu berkualitas tinggi dengan tidak memperhatikan upaya
pelestarian (Sumarna, 2002).
Tingginya harga hasil produk gaharu di pasar luar
negeri dan dalam negeri merupakan salah satu peluang bagi pemerintah untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat juga sebagai salah satu sumber penambah devisa
negara. Permasalahannya adalah bagaimana dapat mengendalikan atau menghentikan
ketergantungan masyarakat terhadap pemanfaatan gaharu dari alam untuk beralih
ke pola budidaya. Untuk menghasilkan produk gaharu dalam waktu kurang dari
sepuluh tahun diperlukan pengelolaan dengan teknologi budidaya yang tepat,
meskipun secara tradisional juga menghasilkan gaharu dan yang membedakan adalah
kualitas dan kuantitasnya. Sementara itu konsekuensi dari penerapan teknologi
budidaya pada pengelolaan kebun gaharu juga ada permasalahan yaitu mengenai
biaya pengeluaran yang juga tinggi. Untuk
itu diperlukan suatu analisis biaya untuk kelayakan usaha budidaya
gaharu agar menjadi dasar perhitungan bagi petani. Semua tahapan kegiatan dalam
setiap usaha budidaya gaharu memerlukan biaya seperti halnya penyediaan bibit. Penyediaan
bibit gaharu yang diperbanyak secara konvensional baik secara generatif maupun
vegetatif tetap dilakukan oleh masyarakat maupun instansi terkait untuk
pengembangan gaharu di alam maupun di kebun-kebun masyarakat sebagai upaya
untuk menjaga
Botani
Tanaman Gaharu
Pohon penghasil gaharu merupakan tanaman tingkat
tinggi dengan taksonomi atau klasifikasinya sebagai berikut :
Kingdom
|
(kerajaan)
|
:
|
Plantae
|
(tumbuhan)
|
Divisio
|
(divisi)
|
:
|
Spermatophyta
|
(tumbuhan
berbiji)
|
Sub
Divisio
|
(anak
divisi)
|
:
|
Angiospermae
|
(tumbuhan
biji tertutup)
|
Class
|
(kelas)
|
:
|
Dicotyledoneae
|
(berbiji
belah dua)
|
Sub
Class
|
(anak
kelas)
|
:
|
Dialypetalae
|
(bebas
daun mahkota)
|
Ordo
|
(bangsa)
|
:
|
Myrtales
|
(daun
tunggal duduk bersilang)
|
Family
|
(suku)
|
:
|
Thymelaceae
|
(gelam
berserabut jala)
|
Genus
|
(keluarga)
|
:
|
Ada 8 Keluarga yaitu : 1. Aquilaria, 2.
Wisktroemia,
|
3. Gonyitylus, 4.Gyrinops, 5. Dalbergia, 6.
Enkleia, 7. Excoccaria, 8. Aetoxylon.
|
Species
|
(jenis)
|
:
|
Pohon
pengahasil gaharu ada 17 species / jenis
|
meliputi
1. Aquilaria malaccensis, 2. A. hirta,
3. A. microcarpa, 4. A. filaria,
5. A. beccariana, 7. A. agalocha, 8. Aetoxylon sympethaluum, 9.
Enkleia malaccensis, 10. Gonystylus banccanus, 11. Gonystylus macrophyllus, 12. Wisktroemia androsaemofolia, 13.
Wisktroemia polyantha, 14. Wisktroemia tenuriamis,
15. Gyrinops cumingiana, 16. Dalbergia
parvifolia, 17. Excoccaria agalocha.
|
Dari taksonomi di atas
dapat diketahui bahwa gaharu itu dapat dihasilkan oleh beberapa genus dan
beberapa species tumbuhan, sehingga pohon penghasil gaharu ini mempunyai
morphologi yang beragam. Ciri khas pohon penghasil gaharu khususnya jenis Aquilaria malacensis adalah seperti
penjelasan di bawah ini.
Batang dan Cabang
Tinggi pohon mencapai 40
meter, diameter batang 60 centi meter. Permukaan batang licin, warna keputihan,
kadang beralur, kayunya agak keras (foto terlampir).
Daun
Bentuk daunnya
lonjong agak memanjang, bagian ujung daun meruncing. Tepi daun tegak, agak
bergelombang dan melengkung, permukaan atas bawah licin dan mengkilap. Panjang
daun 6-8 centi meter, lebar 3-3,5 centi meter. Tulang daun sekunder 12-16
pasang jika daun mengering berwarna abu-abu kehijauan (foto terlampir).
Bunga
Bunga terdapat di
ujung ranting, ketiak daun, kadang-kadang di bawah ketiak daun. Mahkota bunga
berbentuk lancip, panjang sampai 5 mm berwarna hijau kekuningan atau putih dan
berbau harum.
Buah
Buah berbentuk
kapsul / bulat telur atau agak lonjong, panjang sekitar 4 centi meter, lebar 2
centi meter dengan kulit agak keras. Setiap buah mengandung 1-2 biji/benih atau
lebih. Bentuk biji bulat telur dengan warna coklat-kehitaman berukuran sekitar
1 centi meter, biji tertutup rapat oleh rambut coklat-kemerahan. Biji bersifat
rekalsitran atau cepat berkecambah (foto terlampir).
Syarat Tempat Tumbuh
Tanaman penghasil
gaharu (Aquilaria malacensis Lamk)
dapat tumbuh pada daerah hutan dataran rendah, lereng-lereng bukit dengan
ketinggian 0-750 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan curah hujan 2000 - 4000
mili meter per tahun. Suhu yang sesuai adalah antara 24 derajat celcius hingga
32 derajat celcius dengan kadar cahaya matahari sebanyak 70 persen.
Jenis tanah yang
sesuai adalah jenis lembut dan liat berpasir dengan pH tanah antara 4,0 hingga
6,0. Sebaran pertumbuhannya terdapat di Sumatera dan Kalimantan.
Nama lokal di Sumatera yaitu Akhir, Gaharu, Garu, Halim (Bahasa Lampung), Alim,
Karas, Kareh, Mengkaras, Seringak. Sedangkan nama lokal di Kalimantan disebut Baru, Gambil, Sigi-Sigi.
Teknis Budidaya Tanaman Penghasil Gaharu Jenis Aquilaria malacensis
Penyiapan dan pengolahan lahan
Penanaman gaharu diawali
dengan persiapan lahan dan pengolahan lahan dengan tujuan untuk memperbaiki
struktur dan tekstur tanah agar penyerapan hara oleh akar tanaman menjadi lebih
mudah. Pembudidayaan tanaman penghasil gaharu termasuk membutuhkan modal yang
besar (capital intensive), artinya
dengan luas yang sama maka modal dan biaya tanaman penghasil gaharu akan lebih
besar daripada tanaman lain. Tetapi profit gaharu satu hektar akan jauh lebih
besar dibandingkan profit satu hektar tanaman lain.
Namun sebelum persiapan
lahan dan pengolahan lahan, terlebih dahulu harus dilakukan pembibitan di
persemaian jika bibitnya berasal dari persemaian sendiri. Tetapi jika bibit
langsung dibeli dari penangkar bibit, maka langkah selanjutnya adalah penentuan
jarak tanam, membuat lubang tanam, pengangkutan bibit, penanaman bibit hingga
pemupukan.
Penanaman bibit
Bibit yang sudah
disiapkan sebelumnya melalui perbanyakan secara generatif yaitu membibitkan
sendiri dari biji ataupun melalui cabutan bibit dari indukan pohon yang ditanam
di polibag kemudian diangkut ke lokasi penanaman. Jarak tanam gaharu
bermacam-macam antara lain 4 meter x 5 meter, 5 meter x 5 meter, 3 meter x 3
meter, 3 meter x 4 meter, 3 meter x 5 meter sesuai dengan kondisi lahan. Lubang
tanam dapat dibuat dengan ukuran 10-20 centi meter sesuai ukuran polibag
kemudian bekas galian lapisan atas ditimbunkan ke dalam lubang tanam karena
tanah lapisan atas ini mengandung humus.
Langkah-langkah
penanaman bibit adalah :
-
Plastik polibag dibuka dengan hati-hati agar tanah dan
bibit tidak terpisah sehingga akan lebih mudah utnuk ditanam dan lebih cepat
tumbuh.
-
Bibit dimasukkan bersama media dengan posisi tegak lurus,
ditimbun dengan tanah top soil dan
pupuk organik di sekeliling lubang, ditekan perlahan-lahan sampai tanah padat.
-
Bila ada bibit yang tumbuh tidak lurus, dapat diluruskan
kemudian diikat pada ajir tanam dengan menggunakan tali atau serat bahan alami.
-
Bibit disiram dengan air secukupnya.
-
Pada permulaan tanam sebaiknya diberi pelindung dengan
daun kelapa atau daun pinang.
Pemberian pupuk
Tanaman yang telah
ditanam kemudian diberi pupuk organik seperti kompos dan pupuk kandang atau
dapat juga dengan menggunakan pupuk anorganik seperti NPK.
Langkah-langkah
pemupukan adalah :
-
Waktu pemberian pupuk. Waktu pemupukan untuk tanaman
keras termasuk tanaman penghasil gaharu sebaiknya pada permulaan musim hujan
sehingga pemberian pupuk hanya dua atau tiga kali dalam setahun.
-
Cara pemberian pupuk. Pemberian pupuk organik
ditabur di sekeliling pohon kemudian ditutupi dengan tanah. Sedangkan untuk
pupuk NPK dengan cara menabur di sekeliling pohon, dengan cara menugal tanah di
empat titik di sekeliling pohon. Setelah ditabur kemudian ditutupi dengan
tanah.
-
Dosis pemupukan. Dosis pupuk berubah atau bertambah sesuai dengan
umur tanaman.
-
Jenis pupuk. Jenis pupuk yang digunakan adalah NPK atau pupuk
organik.
Tabel 2.
|
Jenis Pupuk dan Dosis
serta Waktu Pemupukan sejak Ditanam Sampai Tanaman Penghasil Gaharu Umur Satu
Tahun
|
Umur Tanaman
(Bulan)
|
Jenis Pupuk
|
Dosis Pupuk per Pohon
(gram)
|
Waktu
tanam
|
NPK
|
20
|
|
|
Organik
|
5.000
|
|
2
|
|
NPK
|
20
|
|
3
|
|
NPK
|
20
|
|
4
|
|
NPK
|
20
|
|
5
|
|
NPK
|
20
|
|
6
|
|
NPK
|
20
|
|
|
|
Organik
|
5.000
|
|
7
|
|
NPK
|
20
|
|
8
|
|
NPK
|
20
|
|
9
|
|
NPK
|
20
|
|
10
|
|
NPK
|
20
|
|
11
|
|
NPK
|
30
|
|
12
|
|
NPK
|
30
|
|
Jumlah pupuk
pada tahun I
|
NPK
Organik
|
300
10.000
|
gram
gram
|
|
|
|
|
|
|
Selama satu tahun pupuk yang
diperlukan untuk pemupukan satu tanaman penghasil gaharu adalah NPK sebanyak
300 gram yang diberikan 12 kali dan pupuk organik sebanyak 10 kilo gram dengan
frekuensi pemberian sebanyak 2 kali. Meskipun dalam kenyataannya di lapangan
tidak seideal yang tersaji pada Tabel 1 di atas, namun tabel tersebut merupakan
pedoman untuk pemberian pupuk pada tanaman penghasil gaharu pada tahun pertama.
Tabel 3.
|
Jenis
Pupuk dan Dosis serta Waktu Pemupukan Tanaman Penghasil Gaharu Setelah
Berumur Satu Tahun Sampai Panen
|
Umur tanaman
(bulan)
|
Jenis Pupuk
|
Dosis Pupuk per pohon
(kg)
|
14
|
|
NPK
Organik
|
¼
10
|
|
16
|
|
NPK
|
¼
|
|
18
|
|
NPK
|
¼
|
|
20
|
|
NPK
|
¼
|
|
22
|
|
NPK
|
¼
|
|
24
|
|
NPK
|
¼
|
|
27
|
|
NPK
|
¼
|
|
30
|
|
NPK
|
¼
|
|
33
|
|
NPK
|
¼
|
|
36
|
|
NPK
Organik
|
¼
5
|
|
39
|
|
NPK
|
¼
|
|
42
|
|
NPK
|
¼
|
|
45
|
|
NPK
|
¼
|
|
48
|
|
NPK
Organik
|
¼
5
|
|
51
|
|
NPK
|
¼
|
|
54
|
|
NPK
|
¼
|
|
57
|
|
NPK
|
¼
|
|
60
|
|
NPK
Organik
|
¼
5
|
|
63
|
|
NPK
|
¼
|
|
66
|
|
NPK
|
¼
|
|
69
|
|
NPK
|
¼
|
|
72
|
|
NPK
|
¼
|
|
Jumlah pupuk
tahun ke-II
s.d tahun ke-VI
|
NPK
Organik
|
7,5
25
|
kg
kg
|
Setelah tanaman penghasil gaharu
berumur 5 tahun dosis pupuk NPK dikurangi, sesudah tanaman penghasil gaharu
berumur 6 tahun tidak perlu diberi pupuk organik sebab pada umur 6 tahun
tanaman penghasil gaharu sudah mulai dibor atau disuntik karenanya hara mulai
dikurangi agar produksi gubal makin banyak.
4.2.4 Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman
meliputi penyiangan atau pengendalian gulma, penggemburan tanah, pengendalian
hama dan penyakit dan pemangkasan.
-
Pengendalian gulma. Umumnya setelah dilakukan
penanaman tanaman penghasil gaharu di areal perkebunan, tidak lama kemudian
tumbuh tanaman pengganggu atau gulma. Pertumbuhan gulma akan mengganggu tanaman
penghasil gaharu karena bersaing memperbutkan unsur hara yang tersedia dalam
tanah. Jumlah gulma begitu banyak yang tumbuh di sekeliling tanaman penghasil
gaharu sehingga dipastikan tanaman penghasil gaharu akan kalah bersaing
sehingga mengalami gangguan pertumbuhan karena kekurangan unsur hara yang
akhirnya mati. Karena itu pemberantasan gulma segera dilakukan untuk mencegah
gangguan pertumbuhan pada tanaman penghasil gaharu karena adanya persaingan
unsur hara dalam tanah. Interval pemberantasan gulma tergantung pada kecepatan
tumbuhnya rumput di kebun, apabila makin cepat tumbuh gulma, maka makin cepat
pula dilakukan pemberantasan.
Meskipun pemberantasan gulma
harus lebih cepat, namun perlu diperhatikan bahwa dalam pemberantasan gulma di
kebun agar tidak dilakukan dengan menggunakan cangkul dan racun rumput (round-up) sebab jika dengan menggunakan
cangkul dikhawatirkan cangkulannya akan merusak perakaran tanaman penghasil
gaharu itu sendiri. Sedangkan menggunakan racun rumput (round-up) dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif terhadap
pertumbuhan tanaman. Untuk itu disarankan supaya pemberantasan gulma cukup
dengan dicabut atau dibabat.
-
Pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian hama dan penyakit
terus dilakukan hingga tanaman berumur 4-5 tahun. Pelaksanaannya disesuaikan
dengan kondisi dan gejala yang ada pada tanaman di kebun. Hama pada gaharu
antara lain hama pemakan daun (Spodoptera
sp), kutu putih yang serangannya
sering diikuti jamur Fusarium sp yang menginfeksi pohon yang kemudian
terbentuk gaharu. Rayap (Coptotermes sp) yang menggerek pohon dari kulit ke
arah horizontal lalu membuat lubang ke arah vertikal akhirnya merusak kayu.
Sedangkan penyakit pada tanaman penghasil gaharu ialah penyakit rebah di pembibitan
yang disesbabkan oleh jamur, penyakit bulai dan keriting yang diduga disebabkan
oleh virus ditularkan melalui serangga dan sering terdapat di pembibitan.
-
Pemangkasan. Setiap pemilik kebun tanaman penghasil gaharu
tentu mengharapkan tanamannya tumbuh dengan baik yaitu batang bebas cabang yang
ideal sehingga pada saatnya nanti dilakukan pengeboran untuk memasukkan jamur
pembentuk gaharu akan lebih mudah. Dengan demikian tanaman harus dilakukan
pemangkasan pada umur 1-4 tahun dengan memotong cabang-cabang bagian bawah
ditinggalkan 4-10 cabang atas sesuai dengan umurnya.
4.2.5 Penyuntikan pohon gaharu untuk memasukan jamur
pembentuk gubal
Penyuntikan pada tanaman
penghasil gaharu adalah salah satu cara untuk mempercepat proses pembentukan
gaharu pada tanaman penghasil gaharu dengan menginfeksikan jamur (umumnya jamur
Fusarium sp) pada pohon dengan cara dibor. Jamur ini berfungsi untuk
merangsang tanaman agar merespon dengan mengeluarkan penangkal yang bentuknya
berupa resin beraroma yang diproduksi oleh alkaloid sel. Resin berwarna cokelat
itu melindungi sel-sel tanaman dari serangan mikroba supaya luka/kerusakan
akibat serangan mikroba tidak meluas ke jaringan lain. Namun adanya resin pada
jaringan hidup yang terus menumpuk itu justru menutupi dan menghambat fungsi
jaringan tanaman untuk pengangkutan unsur hara ke bagian tanaman lainnya
sehingga berujung pada terbentuknya gaharu dan pada akhirnya tanaman akan mati
karena mengalami kekurangan hara.
-
Syarat pohon yang akan dibor. Pohon yang akan dibor harus
pohon yang bagus atau pertumbuhannya bagus dengan umur di atas 6 tahun,
diameter batang di atas 10 cm, keadaan sekitarnya cukup teduh agar kelembaban
cukup tinggi.
-
Peralatan dan bahan. Alat dan bahan yang
dipersiapkan adalah bor kayu (mata bor berdiameter 13 mm), spidol permanen,
kapas dan pinset, lilin lunak, meteran, alkohol 70 persen, bibit gubal gaharu /
jamur.
-
Cara penyuntikan. Penyuntikan diperlukan
keterampilan khusus karena harus memanjat pohon dengan membawa beberapa
peralatan inokulan, kemudian melakukan pengeboran secara vertikal dengan
memperkirakan kedalaman bor satu per tiga (1/3) diameter pohon dan memasukkan
jamur ke dalam lubang bor. Batang pohon yang akan disuntik diukur dan diberi
tanda dengan spidol, jarak lubang pertama adalah 20 centi meter dari permukaan
tanah, jarak antara satu tempat bor dengan lainnya adalah 10 centi meter, mata
bor dan lubang bor disterilkan dengan alkohol, lubang bor dibuat sepertiga
lingkaran pohon dan mata bor selalu dibersihkan dengan alkohol setiap kali
setelah membuat satu lubang bor atau sebelum membuat lubang bor selanjutnya,
arah lubang miring sekitar 30 derajat ke
arah tanah, segera masukkan bibit gubal atau jamur ke dalam lubang jangan
sampai lubang menjadi kering, tekan dengan spatula yang telah disterilkan
sebelumnya, tutup lubang dengan lilin lunak agar terhindar dari masuknya air
hujan. Sekali sebulan perlu dikontrol penutup lubang.
-
Memasukkan jenis jamur pembentuk gubal gaharu. Setelah pengeboran,
secepatnya langsung memasukkan jenis jamur / inokulan ke dalam lubang bor
kemudian ditutup dengan lilin. Jenis jamur yang umumnya digunakan ialah Fusarium lateritium (menurut Fakultas Pertanian Universitas Mataram /
UNRAM). Namun demikian menurut hasil penelitian Badan Penelitian Pengembangan
Kehutanan Bogor, menemukan bahwa semua jenis jamur Fusarium dapat menghasilkan gubal gaharu. Beberapa jenis jamur
pembentuk gubal gaharu antara lain Cytosphaera
malaccensis yang merupakan hasil isolasi dari gubal yang terbentuk pada
batang gaharu Aquilaria malaccensis, Phialophora parasitica, mikoriza abuskular
vesikular, torula cylindrocephalum, gonoderma lucidium, Eupicoccum granulosum,
fusarium lateritium, Fusarium popullaria, Fusarium rhinocladeilla, Fusarium
rizoctonia, Fusarium oxysporium, Fusarium bulbigenum, Fusarium botryodiplodia,
Lasiodiplodia sp, Libertella sp, Tricoderma sp, Thielaviopsis sp, Phytium sp, Scytalidium sp.
-
Evaluasi pasca penyuntikan. Untuk mengetahui keberhasilan
penyuntikan, maka dilakukan evaluasi setelah tiga bulan penyuntikan, tepat di
atas atau di bawah tempat penyuntikan dibor lagi untuk melihat apakah bekas
pada bor warnanya sudah menjadi coklat dan bila dibakar sudah mengeluarkan bau
yang wangi, maka menunjukkan bahwa penyuntikan berhasil. Jika hasil evaluasi
belum berhasil, maka perlu dilakukan penyuntikan ulang.
4.2.6 Panen dan pasca panen
-
Tanda-tanda pohon siap panen. Secara fisiologis,
terbentuknya gubal gaharu ditandai dengan kondisi pohon yaitu daun pada tajuk
pohon sudah menguning bertahap yang mirip dengan tanda adanya penyakit, daun
yang menguning mulai rontok, ranting kehilangan daun dan mulai mengering,
secara fisik proses pertumbuhan terhenti, kulit batang mengering dan kehilangan
kadar air. Ranting dan cabang mulai meranggas dan mudah patah, batang, serta
berwarna putih berserat coklat kehitaman dengan teras kayu merah kecoklatan
atau hitam. Bila dikupas dan dibakar akan berbau aroma harum yang khas.
-
Cara panen. Ada dua cara panen yaitu panen berkala dan panen
total. Panen berkala ialah teknik panen yang dilakukan dengan cara pengerukan
atau pengupasan bagian kayu yang sudah terbentuk gubal. Sedangkan panen total
ialah pemanenan pada pohon yang sudah mati seluruhnya untuk diambil
bagian-bagiannya yaitu batang, cabang, ranting dan akar. Pohon ditebang dan
akarnya digali, batang dipotong-potong, kemudian dikuliti, dipisahkan gubal
gaharu dengan kemedangan.
-
Pasca panen. Biasanya pasca panen, gaharu langsung dikumpulkan
oleh petani budidaya, pengusaha, penampung produk dan eksportir. Gaharu yang
telah dipanen kemudian dilakukan seleksi berdasarkan kelas. Penentuan kelas
gaharu adalah syarat untuk menentukan mutu dan harga jual. Kulaitas gaharu
dibagi atas tiga kelompok yaitu Gubal, Kemedangan, Abu/Bubuk. Produk gaharu
tersebut masih dibagi lagi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) yang
ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN) menjadi beberapa kelas yaitu
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi Mutu Produk
Gaharu
No.
|
Klasifikasi dan
Kelas Mutu
|
Warna
|
Kandungan
Damar
Wangi
|
Aroma
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
A
|
Gubal
|
|
|
|
A1
|
Mutu Utama (U) setara
dengan mutu super
|
Hitam merata
|
Tinggi
|
Kuat
|
A2
|
Mutu Pertama (I) setara
dengan mutu AB
|
Hitam coklat
|
Cukup
|
Kuat
|
A3
|
Mutu Kedua (II) setara
dengan Sabah Supuer (SB1)
|
Hitam kecoklatan
|
Sedang
|
Agak kuat
|
B
|
Kemedangan
|
|
|
|
B1
|
Mutu I setara TG-A
(TG-A = tanggung A)
|
Coklat kehitaman
|
Tinggi
|
Agak kuat
|
B2
|
Mutu II setara SB1
|
Coklat bergaris hitam
|
Cukup
|
Agak kuat
|
B3
|
Mutu III setara TAB
(TA-B = tanggung AB)
|
Coklat bergaris putih
|
Sedang
|
Agak kuat
|
B4
|
Mutu IV setara TG-C
(TG-C = tanggung C)
|
Coklat bergaris putih
|
Sedang
|
Agak kuat
|
B5
|
Mutu V setara M1
(M1=kemedangan 1)
|
Kecoklatan bergaris putih lebar
|
Sedang
|
Kurang kuat
|
B6
|
Mutu VI setara M2
(M2=kemedangan 2)
|
Putih keabuan garis hitam tipis
|
Kurang
|
Kurang kuat
|
B7
|
Mutu VII setara mutu M3
(M3=kemedangan 3)
|
Putih keabuan
|
Kurang
|
Kurang kuat
|
C
|
Abu
|
|
|
|
C1
|
Mutu Utama (U)
|
Hitam
|
Tinggi
|
Kuat
|
C2
|
Mutu Pertama (I)
|
Coklat kehitaman
|
Sedang
|
Sedang
|
C3
|
Mutu Kedua (II)
|
Putih kecoklatan atau kekuningan
|
Kurang
|
Kurang kuat
|
Keterangan : Aroma akan diketahui setelah gaharu dibakar
(sumber : Dewan Standarisasi Nasional)
4.3 Analisis Biaya
Secara ekonomis kegiatan
usaha budidaya tanaman penghasil gaharu sangat menguntungkan bagi pemilik kebun
dalam beberapa tahun kemudian. Tetapi hasil itu perlu dibuktikan dengan
analisis kelayakan usaha sehingga seseorang yang hendak menekuni usaha budidaya
tanaman penghasil gaharu akan merasa lebih yakin tentang keuntungan itu. Kebun
tanaman penghasil gaharu yang dimiliki oleh masyarakat di desa Way Suluh
Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat merupakan kebun yang dikelola
secara sederhana atau tradisonal dengan tenaga kerja dalam keluarga sendiri dan
lahan kebunnya juga milik sendiri. Namun demikian untuk melihat tingkat
kelayakannya maka untuk tnaga kerja dalam keluarga dan lahan tetap
diperhitungkan sebagai tenaga kerja luar keluarga dan sewa.
Berdasarkan data yang
dihimpun, kebun gaharu milik masyarakat di desa Way Suluh ini sebanyak 24 orang dengan luasan berbeda-beda
yaitu antara 2.000 meter persegi sampai dengan 1 hektar dan jarak tanam
menggunakan 5 meter x 4 meter. Dengan demikian jumlah pohon gaharu yang
terdapat di dalam kebun ini pun berbeda-beda dan berumur di atas 10 tahun
sehingga analisis ini hanya menggunakan waktu 8 tahun karena merupakan waktu yang
paling intensif untuk dilakukan pemeliharaan dan kegiatan lainnya yang banyak
mengeluarkan biaya sesuai dengan data pada masing-masing kebun yang dimiliki
oleh masyarakat, nilai perkiraan per pohon yang menghasilkan gaharu kelas gubal
3 kilo gram, kelas kemedangan 30 kilo gram dan kelas abu / bubuk 50 kilo gram.
Pengujian kelayakan usaha ini disesuaikan dengan daerah di Krui yang merupakan
tempat penjualan gaharu dari masyarakat kepada pengumpul/pembeli dengan harga
untuk kelas gubal Rp. 500.000 per kilo gram, kelas kemedangan Rp. 75.000 per
kilo gram dan kelas abu / bubuk Rp. 15.000 per kilo gram.
Sebelum dilakukan
perhitungan biaya pengeluaran dan penerimaan berdasarkan data di atas, terlebih
dahulu dilakukan perhitungan standar biaya yang seharusnya diperlukan untuk
investasi budidaya gaharu seperti pada Tabel 5.
Tabel 5.
|
Analisis Biaya Usaha Budidaya Tanaman Penghasil Gaharu
(Aquilaria malaccensis Lamk)
|
Tahun
|
Jenis Kebutuhan /
Kebutuhan
|
Jumlah
Satuan
|
Harga
Per
Satuan
(Rp)
|
Total
Harga
(Rp)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
A.
|
Penerimaan
|
|
|
|
|
I.
|
Biaya Produksi :
|
|
|
|
|
|
1. Luas lahan
|
1
|
ha
|
-
|
-
|
|
2. Jumlah tenaga kerja
pengolahan lahan
|
5
|
orang
|
-
|
-
|
|
3. Lama
waktu
pengolahan lahan
|
10
|
hari
|
-
|
-
|
|
4. Biaya pengolahan lahan
|
50
|
HOK
|
25.000
|
1.250.000
|
|
5. Pengadaan bibit
|
500
|
batang
|
10.000
|
5.000.000
|
|
6.
Jumlah tenaga kerja tanam
|
10
|
orang
|
-
|
-
|
|
7.
Lamanya waktu tanam
|
1
|
hari
|
-
|
-
|
|
8. Biaya penanaman
|
10
|
HOK
|
25.000
|
250.000
|
|
4. Pupuk NPK
|
150
|
kg
|
4.000
|
600.000
|
|
5. Pupuk kompos
|
5
|
ton
|
400.000
|
2.000.000
|
|
6. Jumlah tenaga
kerja pemeliharaan
|
5
|
orang
|
-
|
-
|
|
7. Waktu
Pemeliharaan
|
96
|
kali
|
|
|
|
8. Biaya pemeliharaan
|
96
|
HOK
|
25.000
|
1.200.000
|
|
Jumlah Tahun I :
|
9.100.000
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
II.
|
Biaya Produksi :
|
|
|
|
|
|
1. Jumlah tenaga
kerja pemeliharaan
|
1
|
orang
|
-
|
-
|
|
2.
Frekuensi pemeliharaan
|
48
|
kali
|
|
|
|
3. Biaya pemeliharaan
|
48
|
kali
|
250.000
|
1.200.000
|
|
4. Pupuk NPK
|
750
|
kg
|
4.000
|
3.000.000
|
|
5. Pupuk kompos
|
10
|
ton
|
400.000
|
4.000.000
|
|
Jumlah Tahun II :
|
8.200.00
|
III.
|
Biaya Produksi :
|
|
|
|
|
|
1. Jumlah tenaga
kerja pemeliharaan
|
1
|
orang
|
-
|
-
|
|
2.
Frekuensi pemeliharaan
|
48
|
kali
|
|
|
|
3. Biaya pemeliharaan
|
48
|
kali
|
250.000
|
1.200.000
|
|
4. Pupuk NPK
|
500
|
kg
|
4.000
|
2.000.000
|
|
5. Pupuk kompos
|
5
|
ton
|
400.000
|
2.000.000
|
|
Jumlah Tahun III :
|
5.200.000
|
IV.
|
Biaya Produksi :
|
|
|
|
|
|
1. Jumlah tenaga
kerja pemeliharaan
|
1
|
orang
|
-
|
-
|
|
2. Frekuensi
pemeliharaan
|
48
|
kali
|
|
|
|
3. Biaya pemeliharaan
|
48
|
kali
|
250.000
|
1.200.000
|
|
4. Pupuk NPK
|
1.000
|
kg
|
4.000
|
4.000.000
|
|
5. Pupuk kompos
|
5
|
ton
|
400.000
|
2.000.000
|
|
Jumlah Tahun IV :
|
7.200.000
|
V.
|
Biaya Produksi :
|
|
|
|
|
|
1. Jumlah tenaga
kerja pemeliharaan
|
1
|
orang
|
-
|
-
|
|
2.
Frekuensi
pemeliharaan
|
48
|
kali
|
|
|
|
3. Biaya pemeliharaan
|
48
|
kali
|
250.000
|
1.200.000
|
|
4. Pupuk NPK
|
1.000
|
kg
|
4.000
|
4.000.000
|
|
5. Pupuk kompos
|
5
|
ton
|
400.000
|
2.000.000
|
|
Jumlah Tahun V :
|
7.200.000
|
VI.
|
Biaya Produksi :
|
|
|
|
|
|
1. Jumlah tenaga
kerja pemeliharaan
|
1
|
orang
|
-
|
-
|
|
2.
Frekuensi
pemeliharaan
|
96
|
kali
|
|
|
|
3. Biaya pemeliharaan
|
48
|
HOK
|
250.000
|
1.200.000
|
|
4. Pupuk NPK
|
500
|
kg
|
4.000
|
4.000.000
|
|
5. Inokulan
|
1
|
paket
|
15.000.000
|
15.000.000
|
|
6. Biaya penyuntikan
|
500
|
pohon
|
50.000
|
25.000.000
|
|
Jumlah Tahun VI :
|
45.200.000
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
VII
|
-
|
|
|
|
-
|
|
|
|
|
|
|
|
Jumlah Tahun VII :
|
-
|
|
|
|
|
|
|
VIII.
|
Biaya panen :
|
500
|
pohon
|
50.000
|
25.000.000
|
|
Jumlah Tahun VIII :
|
25.000.000
|
|
|
|
|
Jumlah Tahun I s.d
VIII :
|
98.900.000
|
B.
|
Penerimaan
|
|
|
|
|
|
Hasil produksi
gaharu (60%) :
|
500
|
pohon
|
|
|
|
1. Kelas gubal
|
500
|
kg
|
2.000.000
|
1.000.000.000
|
|
2. Kelas kemedangan
|
5.000
|
kg
|
150.000
|
750.000.000
|
|
3. Kelas abu / bubuk
|
7.500
|
kg
|
50.000
|
375.000.000
|
Jumlah :
|
2.125.000.000
|
C.
|
Keuntungan (B-A) :
|
|
|
|
2.116.000.000
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dari perkiraan analisis
biaya pada Tabel 5, dapat dihitung keuntungan bersih usaha budidaya tanaman
penghasil gaharu dalam satu hektar adalah jumlah penerimaan dikurangi biaya
yang dikeluarkan selama pengelolaan yaitu 2.125.000.000 - 98.900.000 = 2.116.000.000. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa
penerimaan bersih (profit) yang
diperoleh cukup besar sehingga usaha ini sangat layak.
Perhitungan di atas
tidak memperhitungkan waktu yaitu waktu yang dikorbankan selama 7 tahun dan
selama 6 tahun tidak ada penerimaan sehingga perlu dibuat analisis Net Present
Value atau NPV (nilai bersih sekarang) dengan tingkat bunga (discount faktor =
df) tertentu. Pada pirnsipnya uang yang diterima 1.000.000 hari ini lebih
berharga dari pada uang 1.000.000 yang diterima dua tahun kemudian. Dengan
demikian secara singkat dapat dipakai rumus sebagai berikut :
i = tingkat bunga per tahun, t = lama waktu (tahun)
Dengan perkiraan
rata-rata tingkat bunga uang 12 persen per tahun, maka nilai uang 1.000.000
setelah dua tahun mendatang = 1.000.000 x 1/(1+0,12)2 = 1.000.000 x
0,7972 = 797.200. Dari contoh di atas dapat dibuat analisis Net Benefit Cost
Ratio (Net B/C Ratio) untuk budidaya tanaman penghasil gaharu dengan df = 12
persen seperti tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6.
|
Analisis
Net B/C Ratio Budidaya Tanaman Penghasil Gaharu per Hektar dan 500 Pohon
dengan df 12% per Tahun
|
Tahun
ke :
|
In Flow
|
Discount
|
PV (Bt)
|
Out Flow
|
(PV (Ct)
|
Factor (df)
|
1
|
0
|
0,8929
|
-
|
9.100.000
|
8.125.000
|
2
|
0
|
0,7972
|
-
|
8.200.000
|
6.536.990
|
3
|
0
|
0,7118
|
-
|
5.200.000
|
3.701.257
|
4
|
0
|
0,6355
|
-
|
7.200.000
|
4.575.730
|
5
|
0
|
0,5674
|
-
|
7.200.000
|
4.085.473
|
6
|
0
|
0,5066
|
-
|
45.200.000
|
22.899.727
|
7
|
-
|
0,4523
|
-
|
-
|
-
|
8
|
1.725.000.000
|
0,3606
|
622.052.293,0932
|
25.000.000
|
9.015.251
|
Jumlah :
|
622.052.293,0932
|
|
58.939.428
|
NPV =
|
PV (Bt) - PV (Ct)
|
B/C R =
|
PV (Bt) / PV (Ct)
|
|
=
|
563.112.865
|
=
|
10,55
|
|
Dari Tabel 6 diketahui
bahwa dengan df = 12 persen per tahun maka NPV sebesar 563.112.865 dan Nilai
Net B/C Ratio = 10,55. Maka untuk budidaya tanaman penghasil gaharu pada df =
12 persen per tahun masih sangat layak. Dan apabila suatu usaha disebutkan
tidak layak pada df tertentu jika Net B/C Rationya <= 1.